Bahagia

Rizkiana Sidqi
3 min readMar 9, 2023

--

Photo by Madison Oren on Unsplash

“Apa aku tidak boleh bahagia?”

Berbekal sisa-sisa energi yang dimilikinya malam ini, Nara berjalan kaki dari halte ke kamar kos. Pikirannya melayang pada lagu yang tak sengaja ia dengarkan tadi sore. Tentang kebahagiaan yang seolah teramat sulit didapatkan bagi sebagian orang, termasuk Nara.

Biasanya, perjalanan pulang adalah bahagia baginya. Pulang kemanapun tempatnya bisa menjadi dirinya sendiri. Sesak atau desak yang harus ia lalui, baginya tak sebanding dengan rasa nyaman dan tenang yang ia dapatkan sesampainya Nara di tempat tujuan. Tapi kali ini, entah kenapa rasa itu hampa. Pintu kos yang akhirnya semakin terlihat jelas, penjual cilok langganan yang menyapanya, tak juga membuat hormon bahagia menghampirinya.

“Bahagiamu, kamu yang tentukan, Nak”

Suara kunci terbuka, seperti menghentak Nara untuk tidak berlama-lama dalam pikiran yang tanpa ujung ini. Proses spiral yang sering kali hanya membuat matanya bengkak keesokan harinya. Benar. Sukses membuat tumpah air mata.

Cermin yang memantulkan senyum terpaksa Nara, seperti memberi pesan baginya untuk coba belajar bahagia dari sesiapa di sekitarnya. Pilihan baik, menurutnya. Karena yang dari balik cermin itu masih belum juga menjelaskan bahagia apa yang ia mau.

Senyum dan aura bahagia pernah Nara lihat pada mereka yang baru menikah. Ada lagi dari yang baru saja melahirkan, mendengarkan suara tangisan bayi di ruang bersalin adalah bahagia yang tak terkira bagi keluarga itu. Ada juga dari mereka yang berhasil menjadi sarjana. Senyuman pada potret-potret kelulusan seperti membuat siapapun yang melihatnya juga ikut bahagia. Oh, ada lagi, dari mereka-mereka yang akhirnya bisa membeli rumah atau barang mewah apapun yang baru pertama kali mereka miliki dengan usaha mereka.

“Apa yang sama dari mereka yang berbahagia itu, ya?”

Ucap Nara tanpa membuka lisannya, mencoba menuangkan kemampuan analisis pada kertas yang ada di hadapannya.

Mimpi. Bukan bunga tidur, lebih seperti target atau impian yang ingin diusahakan. Mereka semua adalah orang-orang yang punya mimpi besar. Mimpi untuk lulus, untuk menikah dengan sebaik-baik pasangan, untuk bisa menjadi orang tua. Semuanya.

Usaha. Mereka semua yang berbahagia adalah mereka yang telah melewati proses usaha, kesulitan, sakit, pahit, semuanya yang tidak enak, untuk meraih mimpi-mimpi itu. Dikhianati calon pasangan, hamil sembilan bulan, mengerjakan revisi yang tak berkesudahan, semuanya tidak enak. Namun, mereka tetap lalui hingga akhirnya mencapai titik bahagia.

“Apalagi, ya? Apa yang membuat mereka tetap bertahan meski perjalanannya sesulit itu?”

Yakin. Ada bulir-bulir keyakinan yang Nara lihat dari bagaimana orang-orang di sekitarnya menjalani proses usaha yang melelahkan itu. Keyakinan yang membuat mereka bertahan hingga satu per satu mimpinya menjadi kenyataan. Keyakinan yang mengantarkan mereka pada bahagia tak terkira.

“Sepertinya, tiga hal itu, mimpi, usaha, dan keyakinan.”

Rapat dengan dirinya sendiri kali ini, Nara tutup dengan cukup merasa tenang. Setidaknya, ia berhasil mencoba lepas dari kungkungan air mata setiap kali datang pikiran yang tidak-tidak.

“Tapi, kenapa bahagia serumit itu. Apakah bahagiaku itu nanti, saat Tuhan mengizinkanku menggapai mimpi? Bagaimana jika sebaliknya? Bagaimana jika ternyata mimpiku tak baik untukku?”

Salah. Malam ini ditutup dengan pertanyaan lain. Butuh rapat yang lebih lama. Tapi apa daya Nara sudah kehabisan tenaga. Hidungnya yang mungil menarik nafas sekuat yang ia bisa dan menghembuskannya setenang yang ia bisa. Nara memberi waktu bagi dirinya untuk memahami bahwa, tidak semua pertanyaan ia perlu tahu jawabnya. Jikapun perlu, masih ada esok untuk menjawabnya.

Ditulis untuk Writing and Publishing Workshop, Career Class 2023

--

--

Rizkiana Sidqi

Antara kota dan semesta, ada kita: debu yang senantiasa belajar bangkit dari patah hati.