Praktik Disiplin dalam Menulis

Rizkiana Sidqi
3 min readOct 16, 2020

--

Sumber Gambar dari Thought Catalog di Unsplash

Aroma revisian jarang membuat saya sangat bersemangat. Berbeda dengan momen kali ini, walau sudah masuk putaran perbaikan yang ketiga kalinya. Yang pertama topik tidak menarik, yang kedua penulisan tidak jelas, yang ketiga baru yang menjadi paripurna. Iya, tiga kali saja. Tidak sampai “ribuan” kali seperti UU yang you-know-what itu.

Kembali lagi soal revisi, kali ini dilakukan dalam rangka saya belajar menulis. Mengambil kelas dari Tempo Institute, momen paling impulsif saya bulan lalu. Awalnya sangat berat, karena harus membagi waktu dengan berbagai kegiatan yang lain. Apalagi tugas-tugasnya yang cukup membuat pikiran mendidih: membuat cerita pendek (cerpen) fiksi.

Apa yang berkali-kali saya revisi tadi adalah rancangan plot dan sub plot dari drama tiga babak untuk cerpen saya. Entah apa yang saya rasakan, tapi membuat kerangka cerita menjadi kendala terbesar yang ditemui pada kelas ini.

Mual? Lumayan. Apalagi saat mendapat komentar bahwa yang sudah saya kerjakan sampai lembur-lembur itu, “tidak jelas”. Saya baca lagi, dan memang, kalimat saya njelimet tidak jelas. Seperti yang mungkin akan kamu temukan di sini.

Baru tembakan ketiga kerangka saya bisa tepat mengenai sasaran. Setidaknya sudah diterima oleh Mentor kami, Mbak Leila S. Chudori. Sudah bisa disebut “kerangka yang jelas”.

Apa yang saya sadari adalah: ternyata saya belum terbiasa membuat kerangka. Menuliskannya. Kaku sekali kalau diminta menjelaskan ide dari babak per babak, paragraf per paragraf.

Setiap kali saya memiliki ide tulisan, langsung saja saya persilakan pikiran tersebut mengalir seperti air. Dari huruf pertama sampai titik terakhir. Lancar memang, tapi tanpa kerangka tulisan yang kokoh.

Tidak mau hanya diam, keresahan ini saya sampaikan ke Mbak Leila. Jawaban pertama, adalah wajar jika pola menulis kita masih mengalir saja. Namanya juga pemula. Wajar pula, jika kita banyak menemukan pekerja kreatif (khususnya penulis) yang mengaku bahwa semua kalimat akan tersusun indah dengan sendirinya saat ada wangsit, ide.

Poin yang kedua, seperti telak menampar saya. Adalah tentang kedisiplinan kita dalam menulis. Sembari berproses meningkatkan kemampuan menulis, Mbak Leila berpesan untuk juga mulai mempraktikkan kedisiplinan ini. Harus dibiasakan.

Dalam menulis cerpen, kita harus bisa disiplin dalam membangun karakter. Akan kurang baik jika kita bermain semena-mena dengan karakter kita. Apalagi kalau akhirnya tidak jelas bentuk, alur, kisah, pesan, dan kepribadiannya dalam sepenggal cerita yang halamannya tidak akan sampai ribuan.

Pun bagi mereka yang mendaku mengacu pada wangsit tadi. Sebenarnya hanya ilusi. Mereka tetap punya proses sistematis dan disiplin ini, walau hanya disembunyikan dalam hati.

Ilmu ini juga saya dapatkan dari kelas sebelumnya, Kelas Menulis Cerita Pendek dari Papanya Alea. Bang

mengingatkan bahwa pembuka, klimaks, dan resolusi dari cerpen perlu untuk ditulis dipersiapkan dengan baik sebelum akhirnya mulai menuliskan kata pertama dari cerpen kita.

Retrospeksi proses menulis saya selama ini, barangkali itu kunci yang membuat jumlah artikel yang published lebih sedikit dari yang ada di draft. Ya iya, ide yang datang dulu sudah tahu-tahu hilang. Saya keburu menuliskannya ke dalam paragraf sebelum mengikatnya ke dalam kerangka penulisan yang kokoh. Akibatnya? Sudah lupa sama sekali sebenarnya apa yang mau dituliskan saat kembali dan berniat untuk menyelesaikannya. Saya harus mengakui bahwa ternyata kedisiplinan masih jadi bahasa asing dalam pernulis-nulisan duniawi ini.

Dan, walaupun masih harus belajar untuk bisa membangun fondasi tulisan yang kuat, momentum ini bisa menjadi waktunya kita untuk sama-sama bertumbuh. Bukan malah berhenti dan bersembunyi. Tidak apa-apa masih menulis seperti air banjir yang tidak terarah alirannya, tidak apa-apa walau kerangka tulisan masih sekuat korek api yang tidak mampu berdiri.

Apa yang penting adalah, sama-sama mulai untuk belajar mempraktikkan disiplin dalam setiap karya yang kita persembahkan untuk dunia.

Ini catatan untuk saya, dan semoga bisa bermanfaat untuk kamu juga.

Terakhir, sehat-sehat ya, Kamu!

p.s. tulisan yang kamu baca ini juga sudah terlebih dahulu saya buat kerangkanya.

--

--

Rizkiana Sidqi

Antara kota dan semesta, ada kita: debu yang senantiasa belajar bangkit dari patah hati.